Hal ini adalah sebuah perjuangan yang
panjang bagi kita mengingat kenyataan yang ada ditengah-tengah lingkungan kita.
Hari ini kita sering melihat dan merasakan sendiri betapa Pendidikan menjadi
sesuatu yang mahal. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran
masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi
persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak ataupun memenuhi
persyaratan. Ataupun intervensi pihak swasta yang sama sekali tidak
memperhatikan kualitas dari peserta didiknya, dengan kata lain bahwa mereka
hanya melihat pendidikan dari sebuah fasilitas dan bangunan yang tampak
saja, tetapi jarang sekali digunakan oleh siswanya. Sehingga hanya sekedar
untuk meningkatkan pamor sekolah dengan tujuan untuk menarik orang tua lain
untuk dapat menyekolahkan anaknya di Sekolah tersebut.
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab atas Pendidikan bagi
rakyatnya. Sebab untuk membangun sebuah bangsa tidak dapat tercapai jika warga
negaranya “Bodoh”. Itu adalah sebuah syarat mutlak untuk sebuah Negara yang
ingin maju, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar
1945, hal ini jelas dinyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”, kemudian dipertegas dalam pasal 31 dan 32
(Pendidikan). Hal itu menunjukkan bahwa peran dan fungsi negara dalam
pendidikan yaitu sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kualitas
pengetahuan warga negaranya. Untuk itulah Budget yang dianggarkan dalam UUD
1945 untuk kemudian dialokasikan untuk pendidikan adalah 20% dari total
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Namun sampai hari ini, anggaran
pendidikan tidak pernah mencapai 20%. Hal ini dapat diprediksikan bahwa Rakyat
Indonesia tidak akan pernah maju dalam kualitas pengetahuannya. Belum lagi
dengan adanya pesoalan pejabat korup yang belum pernah tuntas sampai hari ini.
Pada masa sekarang ini, pemerintah memberikan Bantuan
Operasional kepada Sekolah (BOS) untuk membantu meringankan beban Rakyat Miskin
atau yang tidak mampu untuk dapat bersekolah. Hal ini memiliki
pengertian bahwa Pihak Sekolah tidak dapat memaksakan keinginannya tetapi harus
berdasarkan kemampuan Orang Tua Siswanya. Jika Orang Tua Siswa tidak mampu,
maka pihak Sekolah tidak dapat mengambil pungutan apapun kepada siswa. Hal ini
mengingat kondisi Masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih banyak yang
berpenghasilan rendah.Namun pada kenyataannya, masih ada pungutan-pungutan yang
memaksa Orang Tua untuk membayarnya dan kemudian Tidak Transparannya penggunaan
dana tersebut. Hal ini menimbulkan banyak keluhan dari masyarakat. Akhirnya
kita harus lebih jeli dan kritis terhadap masalah ini. Sebab ini menyangkut
masa depan kita bersama. Jika budaya Pungli dan Tidak Transparannya penggunaan
dana ini sudah dimulai dari tingkatan Sekolah Dasar, maka ini akan berimbas
kepada Kebiasaan Buruk menjadi hal yang lazim. Padahal hakekatnya, “Yang Salah adalah
Salah dan Benar adalah Benar”. Kita tidak boleh menganggap biasa terhadap
“sesuatu yang salah”. Itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengatakan
tidak kepada Pungli dan Tidak Transparannya Penggunaan Dana. Hingga kepada
menuntut pemerintah memberikan Anggaran Pendidikan 20% yang berdampak pada Sekolah
Gratis untuk seluruh rakyat
Keterpurukan pendidikan semakin meningkat hal ini
diperparah dengan kebijakan pemerintah yang akan segera memutuskan Rancangan
Undang-undang Perguruan tinggi sebagai zombi yang dibakitkan dari rencana Rancangan Undang-undang Badan Hukum (RUU BHP) yang pada tahun 2008 batal tetapkan. Jika di
tetapkan RUU PT ini maka lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah dan
perguruan tinggi harus berusaha sendiri dalam mendanai sekolah karena pendanaan
untuk pendidikan tidak menjadi tanggung jawab negara dan ini berarti pemerintah
telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 yang berisi bahwa tanggung jawab
negara adalah mencerdaskan bangsa dan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada
masyarakat, Nah masyarakat yang dimaksud di sini yaitu pengusaha yang memiliki
modal . Pasal-pasal dalam RUU PT juga menerangkan untuk melakukan mekanisme
pendanaan bagi lembaga pendidikan untuk mengadakan fasilitas dilakukan dengan
melibatkan pihak swasta nasional maupun asing yang akan mengisi keuangan di
sekolah maupun perguruan tinggi dengan berinvestasi sehingga tidak aneh jika
kita melihat di sekolah dan kampus terdapat toko yang berlebel produsen
penghasil produk, toko-toko swalayan dan bahkan berdiri sebuah bank. Atas hal
tersebut mengakibatkan pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh
masyarakat karena dengan investasi yang dilakukan tentu harus mendatangkan
keuntungan dan untuk itu maka uang sekolah atau uang kuliah harus dinaikkan dan
tentu saja gambaran pendidikan kita menjadi komersil selayaknya barang
dagangan.
Dengan demikian setiap orang tua yang ingin memasukkan
anaknya sekolah harus berhadapan dengan hal ini dan karena keterbatasannya
tidak jarang kita menemui banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah dan
memilih bekerja dan jika ada yang masuk harus berhenti sekolah karena tiap
tahunnya uang sekolah akan terus naik. Melihat gambaran tersebut maka banyak
anak-anak yang masih usia sekolah sudah bekerja dan mereka pun harus menghadapi
suatu permasalahan di dunia kerja seperti di upah murah karena rendahnya
pendidikan yang dimiliki. Peningkatan jumlah tenaga kerja yang bukan saja dari
usia produktif bekerja dibanding lapangan kerja yang tersedia rentan mengalami
praktek-praktek penipuan yang menjanjikan memberi pekerjaan tetapi pada
kenyataannya menjadi tenaga kerja Kontrak, Outsourcing, ataupun buruh harian
lepas bahkan meningkatkan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri sebagai TKI
dengan konsekuensi-konsekuensi yang berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar