Senin, 27 Februari 2012

Memaknai Hening Dalam Diri

Manusia dalam kodrat kemanusiaannya selalu bermakna ganda: sosialis dan individualis. Kesosialisan disini dapat dibaca sebagai mahluk bermasyarakat, ber-masa, berjamaah dan bergotong royong. Dalam keseharian mereka, saya, kalian dan siapapun atau atapun sebutan untuk menterjemahkan kata manusia selalu lebih berguna bila berkuantitas lebih dari satu. Terlepas dari konteks kemodernan saat ini keberadaan manusia dalam   hubungannya dengan faedah karya selalu bersama beruluran tangan bahu membahu mencapai apa yang di cita-citakan sebagaimana berdirinya Borobudur dengan berton-ton batu hitam alam bertumpuk membentuk sebuah maha karya agung yang sangat mustahil dibuat dengan teknologi masa mataram kuno dulu, sebagaimana piramida giza berdiri angkuh ditengah gurun seangkuh sang phraoh penguasa mesir kuno atau sebagaimana para  pelaut masa pertengahan mengarungi samudera lepas sebagai awal masa ekspansi dunia barat. Mereka ; para manusia; dengan apapun sumberdaya yang ada telah membuktikan, berhasil membuat maha karya agung tak lekang jamur ribuan tahun kemudian, berhasil membuktikan teori-teori gereja barat abad pertengahan bahwa bumi tak bulat adalah hal yang harus direvisi, sebuah tamparan pedas bagi komunitas tersebut saat itu.
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing mengartikan kesosialisan manusia lebih jelas lagi. Tak ada satupun yang sulit dicapai bila ada kebersamaan dan persamaan persepsi serta itikad. 

Tanpa dikotomi antara konsep kemodernan ataupun klasik, manusia akan selalu berada pada titik dimana dia berpikir; secara alamiah, bahwa dia, saya, manusia (tunggal) seperti asing dengan hiruk pikuk sekeliling, heran dengan hingar bingar dunia, jenuh dengan konsep dan kongsi-kongsi berlabel koorporat bervisi kebersaman sampai akhirnya diam pada titik pikir ;  Saya adalah diri ini, sendiri.. bukan mereka, manusia adalah saya sendiri, tidak ada yang lain. 

Entah bagaimana tulisan ini berhulu, namun secara pasti jemari ini menekan huruf-huruf hasil budaya barat diatas keyboard laptop saya dengan yakin, sepenuhnya, bahwa ya memang manusia itu adalah saya, kamu, kita dan kalian dalam persepsi makna tunggal. Saya mewakili manusia pribadi saya, kamu adalah kamu sendiri sebagai manusia, kita dan kalian;  menunjuk jamak dengan makna tunggal, beberapa manusia dengan manusia dalam dirinya masing-masing. 

Semacam absurd yang minimalis namun seringkali membuat kening berkenyit. Satu hal yang perlu saya sampaikan adalah pertanggung jawaban manusia berada dalam diri ini sendiri. Ya hanya sendiri, dengan kata lain sebuah pertanggungjawaban hanya bisa dilakukan apabila apa yang ditanggungjawabkan itu dipahami, dimaknai dan dilakoni. Raksasa ego sebagai buah ciptaan sendiri adalah lawan sejatinya. Akan menjadi sebuah pencapaian yang maha luar biasa apabila pemaknaan ini dapat dilakukan oleh setiap masing-masing individu manusia, karena awal dari kebersamaan dan kesosialisasian yang hakiki adalah dari kesendirian manusia itu masing-masing.

Apalah kategori tulisan ini akan dimasukan kedalamnya, namun sebagai penulis sekedar membiarkan kemanusiaan dan kemandirian pola pikir ini berjalan, karena itu sama saja dengan memberikan hak pada setiap organ yang manusia miliki. 

Semoga menjadi bahan renungan bersama. Maaf apabila kesalahan ada dalam tulisan ini, karena hanya saya sebagai manusia dalam arti sendiri yang menjadi narasumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar