Rabu, 29 Februari 2012

Apakah Maicih jadi inspirasi Sistem Pendidikan Indonesia?? hahaha....

Trendsetter maicih, sebuah produk keripik lokal dari kota kembang Bandung dengan karakteristik unik rasa dengan pembeda level tingkatan kepedasannya mungkin telah menginspirasi para pejabat kompeten di negeri ini untuk merumuskan sistem pendidikan. Jika iya,, hahahhaha, tertawa lebar saya. iya mungkin ini hanya sekedar joke saja dan sekedar penglepas lelah sedang mengikuti semiloka nasional selama 3 hari di Universitas Mercubuana-Jakarta. Dari hasil semiloka diketahui bahwa ada konsep baru tentang pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah, hadeeuh... yang lama aja masih awut-awutan pelaksanaannya, sekarang ada yang baru lagi. ckckckc, dosen aja bingung, profesor aja geleng-geleng angguk-angguk kepala kaya lagi clubbing ngebacanya, apalagi mahasiswa atau peserta didik lainya, aje gile..!!!


Yapp, maicih dengan 10 level kepedasannya hampir sama dengan konsep KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) dengan 9 levelnya. Sama kaya maicih tiap level beda kepedasannya, klo KKNI tiap level beda kualifikasinya. Ada level 1 s.d 9 untuk jenjang pendidikan dan keprofesian di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan tinggi (S1 s.d S3) menempati level 6 s.d 9. 


Ajiibb, ribeet...bet..bet... seenak udel sendiri buat kerangka langsung mau diterapin... apa mentang-mentang otak orang Indonesia baru kepake 2% jadi masih ada 98% kekosongan yang dapat dengan mudah menerapkan konsep itu. Pusiiing ogut... >.<


baca : perpres no. 8 tahun 2012 dan konsep KKNI lainnya di mbah google..hahhahaa...jangan pusiiing yah :)

Senin, 27 Februari 2012

who's teroris??

sebuah copas dari group dihandset gadget saya, bisa menjadi bahan pemikiran meski memang tidak bisa menjadi rujukan tanpa penelitian lanjut, namun secara sederhana dapat dipahami.

I liked the answer of this German Muslim scholar when he was asked about terrorism and Islam:
He said: Who started the first world war? Muslims? Who started the second world war? Muslims? Who killed about 20 millions of Aborigines in Australia? Muslims?? Who sent the nuclear bombs of Hiroshima and Nagasaki? Muslims?? Who killed more than 100 millions of Indians in North America? Muslims?? Who killed more than 50 millions of Indians in south America? Muslims?? Who took about 180 millions of African people as slaves and 88% of them died and was thrown in Atlantic ocean? Muslims?? who killed more than a million in the lenin and stalin era?Muslims??? NO!! They were NOT Muslims!!! First of all, you have to define terrorism properly...If a non-Muslim does something bad..it is crime. But if a Muslim does the same..he is a terrorist...So first remove this double standard...then come to the point!!! Infokan pada semua orang. Contoh di Indonesia : di papua sering terjadi penembakan dan disebutnya kriminal bukan teroris. Lah klo pelaku yg menyimpang dari santri pesantren langsung disebut teroris. *media yg ada di indonesia sudah terpengaruhi jugaa

Memaknai Hening Dalam Diri

Manusia dalam kodrat kemanusiaannya selalu bermakna ganda: sosialis dan individualis. Kesosialisan disini dapat dibaca sebagai mahluk bermasyarakat, ber-masa, berjamaah dan bergotong royong. Dalam keseharian mereka, saya, kalian dan siapapun atau atapun sebutan untuk menterjemahkan kata manusia selalu lebih berguna bila berkuantitas lebih dari satu. Terlepas dari konteks kemodernan saat ini keberadaan manusia dalam   hubungannya dengan faedah karya selalu bersama beruluran tangan bahu membahu mencapai apa yang di cita-citakan sebagaimana berdirinya Borobudur dengan berton-ton batu hitam alam bertumpuk membentuk sebuah maha karya agung yang sangat mustahil dibuat dengan teknologi masa mataram kuno dulu, sebagaimana piramida giza berdiri angkuh ditengah gurun seangkuh sang phraoh penguasa mesir kuno atau sebagaimana para  pelaut masa pertengahan mengarungi samudera lepas sebagai awal masa ekspansi dunia barat. Mereka ; para manusia; dengan apapun sumberdaya yang ada telah membuktikan, berhasil membuat maha karya agung tak lekang jamur ribuan tahun kemudian, berhasil membuktikan teori-teori gereja barat abad pertengahan bahwa bumi tak bulat adalah hal yang harus direvisi, sebuah tamparan pedas bagi komunitas tersebut saat itu.
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing mengartikan kesosialisan manusia lebih jelas lagi. Tak ada satupun yang sulit dicapai bila ada kebersamaan dan persamaan persepsi serta itikad. 

Tanpa dikotomi antara konsep kemodernan ataupun klasik, manusia akan selalu berada pada titik dimana dia berpikir; secara alamiah, bahwa dia, saya, manusia (tunggal) seperti asing dengan hiruk pikuk sekeliling, heran dengan hingar bingar dunia, jenuh dengan konsep dan kongsi-kongsi berlabel koorporat bervisi kebersaman sampai akhirnya diam pada titik pikir ;  Saya adalah diri ini, sendiri.. bukan mereka, manusia adalah saya sendiri, tidak ada yang lain. 

Entah bagaimana tulisan ini berhulu, namun secara pasti jemari ini menekan huruf-huruf hasil budaya barat diatas keyboard laptop saya dengan yakin, sepenuhnya, bahwa ya memang manusia itu adalah saya, kamu, kita dan kalian dalam persepsi makna tunggal. Saya mewakili manusia pribadi saya, kamu adalah kamu sendiri sebagai manusia, kita dan kalian;  menunjuk jamak dengan makna tunggal, beberapa manusia dengan manusia dalam dirinya masing-masing. 

Semacam absurd yang minimalis namun seringkali membuat kening berkenyit. Satu hal yang perlu saya sampaikan adalah pertanggung jawaban manusia berada dalam diri ini sendiri. Ya hanya sendiri, dengan kata lain sebuah pertanggungjawaban hanya bisa dilakukan apabila apa yang ditanggungjawabkan itu dipahami, dimaknai dan dilakoni. Raksasa ego sebagai buah ciptaan sendiri adalah lawan sejatinya. Akan menjadi sebuah pencapaian yang maha luar biasa apabila pemaknaan ini dapat dilakukan oleh setiap masing-masing individu manusia, karena awal dari kebersamaan dan kesosialisasian yang hakiki adalah dari kesendirian manusia itu masing-masing.

Apalah kategori tulisan ini akan dimasukan kedalamnya, namun sebagai penulis sekedar membiarkan kemanusiaan dan kemandirian pola pikir ini berjalan, karena itu sama saja dengan memberikan hak pada setiap organ yang manusia miliki. 

Semoga menjadi bahan renungan bersama. Maaf apabila kesalahan ada dalam tulisan ini, karena hanya saya sebagai manusia dalam arti sendiri yang menjadi narasumbernya.

Minggu, 26 Februari 2012

Cyakleet Unik Rasa Asyik


 coklat unik rasa asyik
murni Indonesia punya,
100 gram @Rp20.000
membuat galau anda menjadi gemilau
dengan ide cemerlang dan pikiran terang
Cokelat Tolak Miskin, Cokelat Anti Galau, Cokelat Sesuwatu banged & Coklat Gawat Darurat (baca aturan pakai, jika ketagihan bukan salahkan kami, salahkan pencipta produk ini hehehe )

Order rite now...limited stock !!!



Sebuah catatan dari seorang kawan rimba


sharing catatan bang Rafael Andrian Ricardo
(October 31,2010 at 6:02pm : ilmu tak mengenal kadaluarsa)




Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.


Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah.


Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”


Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!


Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.


Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir.


Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!!


Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.


Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling
damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri.


Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya.


Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.


Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.


Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akkembali ke urat akar di mana dia hidup.


Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.


Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.


Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah.


Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini.


Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.


"karena hidup memang untuk dinikmati, bersyukurlah seluas bumi dan langit"

Sabtu, 25 Februari 2012

PENDIDIKAN GRATIS BERKUALITAS UNTUK SEMUA RAKYAT INDONESIA



Hal ini adalah sebuah perjuangan yang panjang bagi kita mengingat kenyataan yang ada ditengah-tengah lingkungan kita. Hari ini kita sering melihat dan merasakan sendiri betapa Pendidikan menjadi sesuatu yang mahal. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak ataupun memenuhi persyaratan. Ataupun intervensi pihak swasta yang sama sekali tidak memperhatikan kualitas dari peserta didiknya, dengan kata lain bahwa mereka hanya melihat pendidikan dari sebuah fasilitas dan bangunan yang tampak saja, tetapi jarang sekali digunakan oleh siswanya. Sehingga hanya sekedar untuk meningkatkan pamor sekolah dengan tujuan untuk menarik orang tua lain untuk dapat menyekolahkan anaknya di Sekolah tersebut.
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab atas Pendidikan bagi rakyatnya. Sebab untuk membangun sebuah bangsa tidak dapat tercapai jika warga negaranya “Bodoh”. Itu adalah sebuah syarat mutlak untuk sebuah Negara yang ingin maju, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945, hal ini jelas dinyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, kemudian dipertegas dalam pasal 31 dan 32 (Pendidikan). Hal itu menunjukkan bahwa peran dan fungsi negara dalam pendidikan yaitu sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kualitas pengetahuan warga negaranya. Untuk itulah Budget yang dianggarkan dalam UUD 1945 untuk kemudian dialokasikan untuk pendidikan adalah 20% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Namun sampai hari ini, anggaran pendidikan tidak pernah mencapai 20%. Hal ini dapat diprediksikan bahwa Rakyat Indonesia tidak akan pernah maju dalam kualitas pengetahuannya. Belum lagi dengan adanya pesoalan pejabat korup yang belum pernah tuntas sampai hari ini.
Pada masa sekarang ini, pemerintah memberikan Bantuan Operasional kepada Sekolah (BOS) untuk membantu meringankan beban Rakyat Miskin atau yang tidak mampu untuk dapat bersekolah. Hal ini memiliki pengertian bahwa Pihak Sekolah tidak dapat memaksakan keinginannya tetapi harus berdasarkan kemampuan Orang Tua Siswanya. Jika Orang Tua Siswa tidak mampu, maka pihak Sekolah tidak dapat mengambil pungutan apapun kepada siswa. Hal ini mengingat kondisi Masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih banyak yang berpenghasilan rendah.Namun pada kenyataannya, masih ada pungutan-pungutan yang memaksa Orang Tua untuk membayarnya dan kemudian Tidak Transparannya penggunaan dana tersebut. Hal ini menimbulkan banyak keluhan dari masyarakat. Akhirnya kita harus lebih jeli dan kritis terhadap masalah ini. Sebab ini menyangkut masa depan kita bersama. Jika budaya Pungli dan Tidak Transparannya penggunaan dana ini sudah dimulai dari tingkatan Sekolah Dasar, maka ini akan berimbas kepada Kebiasaan Buruk menjadi hal yang lazim. Padahal hakekatnya, “Yang Salah adalah Salah dan Benar adalah Benar”. Kita tidak boleh menganggap biasa terhadap “sesuatu yang salah”. Itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengatakan tidak kepada Pungli dan Tidak Transparannya Penggunaan Dana. Hingga kepada menuntut pemerintah memberikan Anggaran Pendidikan 20% yang berdampak pada Sekolah Gratis untuk seluruh rakyat
Keterpurukan pendidikan semakin meningkat hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang akan segera memutuskan Rancangan Undang-undang Perguruan tinggi sebagai zombi yang dibakitkan dari rencana Rancangan Undang-undang Badan Hukum (RUU BHP) yang pada tahun 2008 batal tetapkan. Jika di tetapkan RUU PT ini maka lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi harus berusaha sendiri dalam mendanai sekolah karena pendanaan untuk pendidikan tidak menjadi tanggung jawab negara dan ini berarti pemerintah telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 yang berisi bahwa tanggung jawab negara adalah mencerdaskan bangsa dan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada masyarakat, Nah masyarakat yang dimaksud di sini yaitu pengusaha yang memiliki modal . Pasal-pasal dalam RUU PT juga menerangkan untuk melakukan mekanisme pendanaan bagi lembaga pendidikan untuk mengadakan fasilitas dilakukan dengan melibatkan pihak swasta nasional maupun asing yang akan mengisi keuangan di sekolah maupun perguruan tinggi dengan berinvestasi sehingga tidak aneh jika kita melihat di sekolah dan kampus terdapat toko yang berlebel produsen penghasil produk, toko-toko swalayan dan bahkan berdiri sebuah bank. Atas hal tersebut mengakibatkan pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat karena dengan investasi yang dilakukan tentu harus mendatangkan keuntungan dan untuk itu maka uang sekolah atau uang kuliah harus dinaikkan dan tentu saja gambaran pendidikan kita menjadi komersil selayaknya barang dagangan.
Dengan demikian setiap orang tua yang ingin memasukkan anaknya sekolah harus berhadapan dengan hal ini dan karena keterbatasannya tidak jarang kita menemui banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja dan jika ada yang masuk harus berhenti sekolah karena tiap tahunnya uang sekolah akan terus naik. Melihat gambaran tersebut maka banyak anak-anak yang masih usia sekolah sudah bekerja dan mereka pun harus menghadapi suatu permasalahan di dunia kerja seperti di upah murah karena rendahnya pendidikan yang dimiliki. Peningkatan jumlah tenaga kerja yang bukan saja dari usia produktif bekerja dibanding lapangan kerja yang tersedia rentan mengalami praktek-praktek penipuan yang menjanjikan memberi pekerjaan tetapi pada kenyataannya menjadi tenaga kerja Kontrak, Outsourcing, ataupun buruh harian lepas bahkan meningkatkan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri sebagai TKI dengan konsekuensi-konsekuensi yang berat. 

Preambule

Negeri, tanah air, tanah kelahiran dan tanah dimana jasad ini kelak akan dikebumikan, selamanya hanya ada satu, tidak ada lain walau emas berlian, permata baiduri, puncak singgasana menunggu,melambai dan mempermainkan alam pikir duniawi ini diluar sana, namun tetap tak akan beranjak dari sini, INDONESIA KU..!!!